
RILIS - M. Zainal Anwar, dosen Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD) UIN Raden Mas Said Surakarta, turut serta dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah. FGD bertema “Refleksi Proses Kandidasi dan Dana Kampanye Pemilu” ini berlangsung pada 25 September 2025 di Aula KPU Provinsi Jawa Tengah.
Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah, Handi Tri Ujiono, S.Sos., menegaskan bahwa forum ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan berbagai aspek pemilu, khususnya proses kandidasi dan pengelolaan dana kampanye.
“Acara ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan proses elektoral di masa mendatang. Kehadiran akademisi dan aktivis pegiat Pemilu diharapkan menjadi masukan berharga untuk pelaksanaan Pemilu mendatang,” ujarnya.
Muhammad Machruz, S.T., anggota KPU Jawa Tengah yang membidangi dana kampanye, menyampaikan bahwa proses kandidasi dan dana kampanye berasal dari partai politik dan peserta pemilu, sementara KPU berperan pada sisi administratif dan pengawasan.
Akmaliyah, S.Pd.I., M.Pd., anggota KPU bidang kampanye, menambahkan bahwa pola kampanye pada pemilu terakhir menunjukkan pergeseran positif karena lebih banyak dilakukan secara langsung ke masyarakat dan jauh berkurang konvoi besar. Ia menilai kampanye sebagai bagian penting dari pendidikan politik yang kini semakin mendekatkan calon ke masyarakat.
Muslim Aisha, S.H.I., anggota KPU lainnya, menegaskan perlunya sosialisasi masif agar publik memahami kewenangan KPU. Ia menekankan bahwa proses pencalonan dan rekrutmen kandidat sepenuhnya merupakan ranah partai politik, sementara KPU fokus pada aspek administratif dan pemeriksaan dokumen.
Dalam FGD ini, M. Zainal Anwar memaparkan analisisnya tentang persoalan strategis proses kandidasi dan dana kampanye. Menurutnya, proses rekrutmen sepenuhnya berada di tangan partai politik dan hal ini memunculkan beberapa masalah, seperti banyaknya kandidat yang tidak berdomisili di daerah pemilihan sehingga melemahkan representasi lokal.
Kandidat juga cenderung berasal dari struktur internal partai atau figur bermodal besar, sementara isu-isu lokal sering terpinggirkan oleh dominasi narasi nasional. Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan jarak antara kandidat dengan konstituen dan menurunkan kualitas demokrasi representasi.
Ia juga menyoroti persoalan transparansi dana kampanye dan metode kampanye. Dana kampanye yang berasal dari partai politik atau peserta pemilu masih sulit diverifikasi publik, politik uang tetap menjadi faktor penentu pilihan pemilih, dan rapat umum monologis membuat pendidikan politik belum optimal.
Walaupun ada pergeseran positif metode kampanye—lebih santun dan langsung ke masyarakat—ia menilai tanpa perbaikan transparansi, publik sulit percaya pada integritas proses elektoral.
Zainal juga menggarisbawahi peran dan citra KPU yang kerap menjadi sasaran gugatan, padahal sebagian besar persoalan berasal dari ranah partai politik. Hal ini menunjukkan publik belum sepenuhnya memahami batas kewenangan KPU, sehingga lembaga ini perlu lebih proaktif mengedukasi masyarakat tentang fungsi dan batas perannya.
“Proses kandidasi dan dana kampanye tidak bisa hanya dipandang sebagai mekanisme teknis. Ia adalah bagian dari pendidikan politik yang harus disampaikan secara transparan, akuntabel, dan mudah diakses publik. Keterbukaan informasi kandidat, dana kampanye, dan metode kampanye dialogis akan membantu pemilih membuat keputusan lebih rasional,” kata M. Zainal Anwar.
Dalam diskusi yang berlangsung dinamis tersebut, muncul pula sejumlah gagasan perbaikan. Para peserta mendorong KPU Jawa Tengah mengembangkan platform digital berisi profil kandidat yang komprehensif, interaktif, dan mudah diakses publik sehingga pemilih dapat memperoleh informasi lebih utuh daripada sekadar baliho dan spanduk.
KPU juga diharapkan memperkuat kampanye edukatif tentang tugas dan kewenangannya melalui media sosial, media lokal, dan forum warga untuk mengurangi mispersepsi publik dan gugatan salah alamat.
Di bidang dana kampanye, mekanisme audit berbasis teknologi yang melibatkan lembaga independen serta kanal pengaduan publik dinilai perlu diperkuat agar transparansi meningkat dan politik uang dapat dicegah.
Sementara itu, metode kampanye yang lebih dialogis seperti town hall meeting atau diskusi warga dinilai lebih efektif memperdalam isu lokal dan mendidik pemilih dibanding rapat umum yang bersifat monologis.
Para peserta juga menekankan pentingnya penegakan aturan terkait etika penempatan alat peraga kampanye demi menjaga estetika kota dan desa, sekaligus mendorong partai politik agar mengangkat isu-isu lokal melalui visi-misi yang lebih kontekstual.
FGD ini menyimpulkan bahwa demokrasi lokal yang berkualitas membutuhkan keterbukaan informasi kandidat, transparansi dana kampanye, dan metode kampanye yang partisipatif. Peran KPU perlu ditegaskan sebagai fasilitator dan pengawas administratif yang profesional dan modern, sementara partai politik didorong memperbaiki mekanisme rekrutmen internal.
Forum ini menjadi langkah strategis untuk melahirkan inovasi kelembagaan sehingga pemilu mendatang di Jawa Tengah lebih partisipatif, transparan, dan berintegritas.***
Mahasiswa PPI UIN Surakarta Raih Juara Harapan 1 Lomba Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional
1 pekan yang lalu - Umum