Loading...

Dosen PPI Jadi Narasumber dalam Desiminasi Riset Mensen Met Een Missi dan Utrecht University untuk Kampanye Depolarisasi

Diterbitkan pada
19 Februari 2025 17:01 WIB

Baca

RILIS – Dosen Pemikiran Politik Islam (PPI) diajak bergabung dalam kampanye desiminasi hasil riset bertajuk "#Harmony: Building a Model of Social Media Influencer-Instigated Depolarization in India, Indonesia and Iraq" yang diselenggarakan di Hotel UNS Inn pada Rabu (19/02/2025).

Riset ini merupakan kerja sama antara Mensen Met Een Missi dan Utrecht University, dengan pendanaan dari Templeton World. Acara ini dikemas dalam forum pelatihan bertajuk "Training: Social Media for Good" dengan peserta dari berbagai elemen. Mulai dari mahasiswa, dosen, pegiat sosial, dan jurnalis.

Di Indonesia, Mensen Met Een Missi berkolaborasi dengan Jaringan Gusdurian untuk menyebarluaskan temuan riset ini.

Dalam rangka memperluas jangkauan akademik dan praktisnya, Jaringan Gusdurian turut menggandeng Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) UIN Raden Mas Said Surakarta. Dalam kesempatan ini, Syafawi Ahmad Qadzafi, selaku Koordinator Prodi PPI, hadir sebagai salah satu pemateri.

Hadir dalam acara ini, tiga dosen dari Utrecht University yang terlibat dalam penelitian, yaitu Mark Hann, Mauke Rodermond, dan Hans de Kruijf.

Mark Hann dalam pemaparannya menjelaskan hasil riset mengenai polarisasi yang terjadi di tiga negara yang menjadi fokus penelitian. Hann juga menguraikan strategi pencegahan serta bagaimana membangun counter-narasi maupun narasi alternatif untuk melawan polarisasi di media sosial.

Sementara itu, Mauke Rodermond membahas perbedaan antara disinformasi dan misinformasi yang sering terjadi dalam dinamika polarisasi. Rodermond menekankan pentingnya pemahaman kritis terhadap informasi yang beredar di media sosial agar tidak terjebak dalam arus polarisasi yang semakin tajam.

Dari perspektif lokal, Syafawi Ahmad Qadzafi membagikan strategi spesifik dalam melakukan depolarisasi di media sosial. Salah satu poin utama yang Qadzafi sampaikan adalah pentingnya memahami kelompok yang berbeda dengan kita.

Qadzafi menegaskan bahwa seberapa pun ekstrem perbedaan itu, tidak menjadi hak kita untuk membatasi hak asasi mereka yang memiliki pandangan berbeda.

Selain itu, dari pihak Jaringan Gusdurian, dua pegiatnya, Sarjoko dan Pandu, turut memberikan pandangan serta berbagi pengalaman mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan oleh komunitas mereka dalam menangkal polarisasi dan membangun ruang dialog yang sehat di media sosial.

Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam menyebarkan wawasan tentang depolarisasi di media sosial, terutama di tengah meningkatnya tantangan disinformasi dan polarisasi.

Harapannya, hasil riset ini dapat menjadi landasan bagi para akademisi, aktivis, dan masyarakat luas dalam membangun ekosistem media sosial yang lebih inklusif dan konstruktif. ***